Sepakat untuk tidak sepakat

June 14, 08

Di setiap awal kuliah yg dulu saya ampu, saya selalu tekankan satu prinsip. Prinsip yg sama juga berlaku di blog ini ~ boleh sepakat untuk tidak sepakat.

.

.

Ya itu masalahnya Pak. Saya itu kalo ikut kuliahnya Pak Boed, setiap akhir materi biasanya bingung. Soalnya kadang kalo Pak Boed sama beberapa temen mahasiswa berdebat, akhirnya ujung kesimpulannya adalah: “sepakat untuk tidak sepakat”. Gmana dong itu. Kesimpulan kok kayak gitu.

Ya gitu lah. Terutama kalo materi yg didiskusikan sifatnya open-ended, misal: tentang etika. Kalo saya pas ngasih materi statistik tentang cara baca tabel distribusi normal, ya terpaksa anda harus sepakat dengan saya đŸ™‚

Jadi dasarnya apa sih pak kok dalam banyak kasus, Pak Boed nekanin prinsip boleh sepakat untuk tidak sepakat?

Gini nih ceritanya.

# Perubahan Paradigma

Kita flash back dulu. Satu hal yg membuat kesal warga Djokja termasuk saya beberapa waktu setelah gempa Djokja adalah karena Djokja mendadak jadi ramai. Banyak orang ‘penting’ yg mondar-mandir dengan mobil di jalanan Djokja, plus bendera partai yg mencolok. Hasilnya? Djokja jadi sering macet untuk sesuatu yg -menurut saya- gak penting đŸ™‚ Kalo emang ikhlas nyumbang, nggak perlu lah demonstratif mondar-mandir bawa bendera partai segede gaban plus pengawal dan sirene meraung-raung. Kalo udah gitu, kita warga biasa terpaksa deh kasih jalan ke orang penting itu. Sebel kan? Kira-kira itulah yg tersimpan di benak saya.

Suatu hari saya berkendaraan ke kampus. Lewat perempatan mirota kampus yg dalam kondisi normal [gak ada tambahan konvoi pejabat] pun sudah macet. Saya sedang buru-buru dan kena lampu merah dari arah timur. Eee, dari arah utara, kedengeran deh suara itu sirene yg menyebalkan – nyoba cari prioritas jalan. Dalam hati saya pikir: “emang enak lewat sini jam segini, mo pakai sirene and pengawal, pejabat ato ketua parpol manapun gak bakalan juga bisa lewat; macet total gini”.

Setelah sekian menit, kemacetan bisa terurai. Saya bisa lihat, yg pake sirene meraung-raung melintas. Ternyata? bukan pejabat – yg lewat itu mobil patroli polisi yg modelnya seperti pick-up, di belakang terlihat seseorang dalam posisi tertelungkup dijagain beberapa orang – kemungkinan besar orang sakit gawat atau habis kecelakaan!!!

Gubraak! terjadilah perubahan paradigma alias perubahan persepsi di diri saya. Saya jadi merasa bersalah sekali waktu itu. Saya tidak hati-hati karena sudah menggunakan bingkai yang salah untuk menilai sebuah fakta. Hasilnya? penilaian tidak akurat, malah sudah suuzon. Satu pengalaman berharga buat saya.

Pak Boed, perubahan paradigmanya apaan pak?

Dari yg sebelumnya ngira kalo itu pejabat yg lewat, so sukurin kena macet; menjadi pasien gawat darurat lewat so kasian kena macet.

Kok bisa begitu Pak Boed?

Karena sebelumnya, saya menggunakan kacamata pengalaman saya [hari gini pake sirene = pejabat lewat, nggak penting banget, nyebelin] untuk menilai fakta baru yg informasinya belum lengkap.

Persepsi saya salah dalam menangkap fakta yang ada. Faktanya adalah: ‘sirene kedengaran meraung-raung”; namun secara tak sadar saya sudah berpikir lebih jauh, sirene [fakta] = pejabat lewat, nyebelin [persepsi] = nggrundel dalam hati [respon].

# fakta dan persepsi dan respon

Dari cerita di atas, terlihat bahwa cukup penting buat kita untuk menyadari bahwa fakta tidak sama dengan persepsi. Coba anda lihat gambar gajah di bawah, menurut anda gajah mana yg paling besar?

See? begitu mudahnya persepsi kita keliru?

Ketiganya sama besar [ini fakta], tapi persepsi sebagian dari kita akan menyatakan kalao gajah yg paling atas yg terbesar. Sila diukur đŸ™‚

Informasi yang sampai di otak kita bukan lagi fakta murni namun sudah dibingkai oleh paradigma, atau mental model tertentu yg kita miliki – sadar ataupun tak sadar. Saat kita melihat dunia, kita menggunakan kacamata tertentu, misal: pengalaman, tata nilai, norma, agama.Informasi yg sudah dibingkai itulah yg kita sebut persepsi. Dan persepsilah yang akan mempengaruhi respon kita terhadap fakta. Jadi, menurut saya, tidak ada orang yg 100% objektif dalam menyikapi suatu fakta.

Fakta –> persepsi –>respon

Wah, jadi jelas sekarang ya pak. Kenapa orang yg berbeda dihadapkan ke fakta yg sama bisa memberikan respon yg sama sekali berbeda.

Yup. Karena fakta tersebut akan dibingkai menjadi persepsi yg kemudian ditindaklanjuti menjadi respon.

Contoh lain, misal saat saya main ke Kaliurang bareng Kirani – kami akan bilang tempatnya indah, menyenangkan, menggembirakan. Kaliurang yg sama mungkin dipersepsikan ahli hidrologi: menyedihkan’. So, saya dan Kirani sebagai orang awam ‘melihat’ Kaliurang dari sisi sejuk-nyaman; ahli hidrologi melihat dari sisi daerah-aliran-sungai, sedimentasi, dll.

Dan pemahaman itulah yg menjadi dasar dari prinsip ‘boleh sepakat untuk tidak sepakat‘. Karena kita menyadari bahwa untuk fakta yg sama pun, orang bisa menginterpretasikannya berbeda-beda. Untuk gambar gajah yg cukup sederhana saja, jawaban kita bisa macem-macem, apalagi jika kita bicara masalah yg kompleks plus abstrak

# IE dan paradigm

Pak Boed, ada gak ya relevansinya pemahaman konsep di atas dengan IE-ers?

IE-ers biasanya dibekali pemahaman tentang beda: fakta, paradigma, persepsi, dan perilaku karena IE-ers bekerja di ranah socio technical system. Socio kan artinya manusia. Salah satu senjata efektif dari IE-ers untuk masalah seperti ini adalah formal modeling. Kapan-kapan aja dibahasnya.

# Hidup bermasyarakat

Akhirnya jika kita tarik ke kasus yg lebih umum, moral of the story-nya adalah: kita harus berhati-hati dalam bersikap dan bertindak. Karena kita tidak hidup di tengah hutan tanpa bermasyarakat, maka segala perilaku kita akan selalu dilihat. Perilaku tersebut -fakta menurut sang pelaku- bisa dilihat orang dengan kaca mata yg berbeda-beda ~ sehingga persepsi orang akan berbeda-beda.

Dalam masyarakat, ada satu kacamata yg hampir seragam dimiliki oleh kelompok masyarakat tersebut: kacamata norma bermasyarakat. Kacamata ini tidak mucul mendadak dan statis, tapi tumbuh seiring berkembangnya masyarakat itu. Dan tentu ada lagi norma agama.

Pak, keliatan banget ya kalo hidup bermasyarakat itu tidak mudah. Tiap orang punya kaca mata persepsi sendiri, trus di level masyarakat juga ada, trus ada nilai-nilai agama dst.

Itulah. Karenanya, menurut saya sih, grey area perlu dihindari karena kita tahu bahwa persepsi bisa dibentuk tidak hanya berasal dari fakta [objektif] perilaku kita namun dibingkai oleh nilai, norma, pengalaman individual dan kolektif masyarakat plus agama. Grey area yg mungkin saya persepsikan ‘putih’ bisa jadi dipersepsikan masyarakat ‘black’ lho. Tentunya anda harus ‘sensitif’ dan ‘aware‘ akan adanya kacamata itu.

Kalo gak aware alias cuek bebek gimana ya?

Kemungkinan terburuk harus siap kena sanksi dari masyarakat. Tentunya, kalo yg grey area aja harus dihindari apalagi yg black area. Tul gak?

Jadi maksud pak Boed di sini, yg penting dalam bermasyarakat adalah mengelola persepsi orang sekitar kita? Cuman itu? Saya bisa juga dong pura-pura berperilaku baik supaya terlihat baik? Atau saya curi-curi melakukan yg gak baik di belakang masyarakat, sementara di depan menunjukkan perilaku tak tercela?

Gak juga, ada satu kata kunci yg lain: yakni integritas. Integritas bisa diartikan sesuainya pikiran, ucapan, dan perbuatan. ‘Mengelola persepsi’ yg anda bilang terlalu artificial hanya kulitnya saja; jadi harus digabung dengan hal yg lebih esensial; yakni: integritas. Di sini kacamatanya tidak lagi norma bermasyarakat tapi spiritual atau agama.

Gampangnya gini, misal nih: kalo anda ingin temen-temen anda melihat bahwa anda itu bukan koruptor, ya tentunya perilaku anda harus mencerminkan bahwa anda bukan koruptor ~ ini yg ada dipermukaan, yg secara eksplisit akan diamati dan dinilai teman anda, yg anda sebut ‘megelola persepsi’. Namun ini gak cukup, karena kunci keduanya adalah integritas: perilaku – perkataan – dan pikiran anda saling mengamini.

Sekarang untuk gambar ke-3; coba anda berikan persepsi pertama anda ttg hal ini. Ini apa coba hayo?

Seperti biasa kita boleh sepakat untuk tidak sepakat.

holding hand - or is it?

ilustrasi1; ilustrasi2

ilustrasi3

baca juga kekuatan percakapan

baca juga berbeda itu melelahkan?

baca juga apakah sikap itu?

21 Responses to “Sepakat untuk tidak sepakat”

  1. appreciativeorganization Says:

    Contoh simpel dan keseharian, itu pelajarn yg saya dapat.
    Wah mas boed, tambah ketemu ngobrol ngalor ngidul sama panjenengan.
    Sptnya teknik dan psikologi adl tampilan yg berbeda dr suatu hal yg sama

  2. b oe d Says:

    # appreciativeorganization

    Pak Budi,
    Irisannya memang cukup besar. Terutama psychology dan Industrial & Systems Engineering (ISE). Salah satu pilar ISE adalah human factor (physical & cognitive).

    Salah satu pioneernya adalah MIT

  3. dadank Says:

    mencerahkan…
    gak cukup sekali bacanya.

    emm, berarti kata kunci untuk ‘membentuk respon’ adalah ‘membentuk persepsi’.
    Kalo dikaitkan dg yg lg rame pemberitaannya di indonesia bekangan ini: “gebuk2an antar kelompok” (mgkin pak boed jg mengikuti dr singapore), saya jd agk khawatir kalo nantinya ada respon negatif masyarakat secara luas (benci, menjauhi dan apalagi antipati) thd orang (dan bahkan tetangganya sendiri sekalipun) dgn penampilan (mis: cara berpakaian) seperti yg suka gebuk2an itu, karena adanya persepsi negatif thd mereka yg gebuk2an.
    Padahal kenyataannya bisa sangat berbeda (gak suka emosional dan gak suka baku hantam).
    Gak bisa gebyah uyah, dipukul rata.

    Tapi, persepsi negatif itu sangat wajar kalau sampai terbentuk. Soalnya berita di tipi2 cuma ituuuuuuuuu aja.
    Yg lebih menyedihkan adalah kalau justru persepsi negatif ini adalah sesuatu yg sengaja dibentuk untuk suatu kepentingan. 2009 misalnya.
    aah, mungkin saya terlalu negatif thinking…

    Lebih baik membangun integritas.
    Kalo memang gak suka emosional dan gak suka kekerasan, berarti ucapan dan tindakan juga harus sejalan…

    Persepsi pertama tentang gambar itu:
    Masak jeruk minum jeruk…. đŸ™‚

  4. yoyon Says:

    Itu gambar orang lagi membantu orang lain nyeberang jalan.

    Sepakat? hehehe

  5. b oe d Says:

    # dadank

    emm, berarti kata kunci untuk ‘membentuk respon’ adalah ‘membentuk persepsi’.

    To some extent – iya.
    Makanya ada ilmu psikologi masa, ilmu pemasaran, propaganda, kemampuan retorika dan sejenisnya. Itu semua terkait dengan usaha pembentukan persepsi.

    Cuman perlu disadari bahwa manusia bukan program komputer yg bisa diatur dengan
    IF persepsi A then respons A’
    IF persepsi B then respons B’
    dst seperti dalam konsep expert system.
    Manusia terlalu kompleks dan dalam banyak kasus tidak reliable.
    Pernah gak anda suatu hari tersenyum pada si X ditanggapi senyum [respons A’ oleh si X] dan di hari yg lain anda kembali tersenyum ditanggapi melengos [respon Z] !!!

    Anyway,
    Seperti insiden monas, tergantung siapa yg bicara, dengan menggunakan kacamata yg berbeda akan didapat persepsi yg berbeda mengenai sebuah fakta.

    Karenanya keahlian membentuk persepsi apabila jatuh ke pendekar berwatak jahat akan sangat berbahaya. Persepsi bisa dimanipulasi. Masalahnya ‘jahat’ atau tidak jahat juga dipengaruhi persepsi -sigh-.

    Yg lebih menyedihkan adalah kalau justru persepsi negatif ini adalah sesuatu yg sengaja dibentuk untuk suatu kepentingan. 2009 misalnya

    Secara umum, terlalu fokus ke usaha mengelola persepsi juga kurang pas, entah menggiring ke persepsi negatif atau positif. Tebar pesona adalah salah satu contohnya đŸ™‚ Akibat dari perilaku tebar pesona yg berlebih, kesan yg muncul adalah sang pengambil keputusan terlihat tidak decisive, terombang ambing, peragu karena ingin menyenangkan semua pihak.

    Lebih baik membangun integritas. kalo memang gak suka emosional dan gak suka kekerasan, berarti ucapan dan tindakan juga harus sejalan…

    Sepakat. Dengan integritas, kita tidak perlu repot-repot lagi mengelola persepsi. Jika hati, ucapan, dan tindakan mencerminkan cinta damai maka persepsi orang akan terbentuk dengan sendirinya bahwa kita cinta damai. Makanya AA Gym mengembangkan manajemen kolbu bukan manajemen persepsi.

    # Yoyon

    Itu gambar orang lagi membantu orang lain nyeberang jalan.

    boleh sepakat untuk tidak sepakat. Contohnya, Dadank ternyata mengatakan: “Masak jeruk minum jeruk”. Bertolak belakang kan?? đŸ™‚

    Ada yg punya persepsi lain lagi tentang gambar itu?

  6. dihar Says:

    Kalo saya Pak yg gambar terakhir itu persepsinya negatif. kecuali kalo itu muhrimnya. Alasan lain tidak diterima kalo saya menurut ajaran agama saya. Jadi jelas.

    Sekalian mau nanya pak, berhubungan dengan integritas.
    Kalo misalnya kasus gambar ke-3 itu yg seharusnya tidak boleh terjadi kemudian mereka beralasan: yg penting hati kami bersih. Biar gandeng-gandengan, di hati kami gak ada apa-apa kok.

    Gimana ya Pak Boed?

  7. b oe d Says:

    # Dihar
    Halo halo ada yg bisa jawab pertanyaan Dihar?

    Saya jadi inget cerita di salah satu novel Umar Kayam.
    Saat bulan Ramadhan, seseorang yg agamanya Islam ditanya karena makan di siang hari, kenapa gak puasa?
    Jawabnya: “oiya, saya itu puasanya sudah level tinggi – adanya di hati. Jadi biar makan bistik satu piring, minum es kelapa muda satu gelas, tapi tidak terasa kok. Karena hati saya yg puasa”

    Gitu kira-kira đŸ™‚

  8. Gaffar Says:

    Pak Boed, gambar terakhir itu sulit saya persepsikan, sebab datanya tidak lengkap. Yg saya lihat adalah dua orang (entah laki entah perempuan) jalan bergandengan (mungkin di pedestrian walk, mungkin pula nyebernag jalan). Itu faktanya. Fakta lain, satu berkulit putih, satu berkulit gelap (lihat kulit tangannya). Lebih dari itu kita tidak tahu.

    Fakta yang terbatas ini menjadikan kita terdorong bertidak-sepakat. Lain halnya kalau faktanya lengkap, kita jadi lebih mudah bersepakat. Mungkin perbedaan pendapat yang berujung kekerasan sebenarnya berpangkal pada keterbatasan pengetahuan pula. Bisakah kita persepsikan begitu?

    Anyway, tulisannya sangat inspiratif…

  9. b oe d Says:

    # Pak Gaffar
    Iya pak, emang fotonya sengaja dipilih yg seperti itu đŸ™‚
    Biar bisa didiskusikan. Pendapat Pak Gaffar sangat menarik terkait dengan cukup atau tidaknya informasi dan ketidaksepakatan.

    Btw,
    Informasi yg lebih lengkap juga belum menjamin kesepakatan bisa tercapai. How enough is enough? Terlalu banyak informasi kita juga malah overwhelmed. Dalam konsep knowledge management, knowledge akan bisa tergelincir menjadi informasi dan seterusnya tergelincir menjadi data jika jumlahnya terlalu banyak dan tidak terkelola dengan baik.

    Bahkan kalaupun informasinya pas – cukup, tak lebih tak kurang; ada satu masalah lagi dengan persepsi manusia – biasa disebut selective perceptions bias: manusia cenderung melihat sesuatu sesuai dengan yg ingin dilihatnya. Info yg tersedia namun tak disukai akan diabaikan. Contoh artikelnya di sini.

    BTW lagi,
    kok bisa yakin kalo gambar di foto itu fakta?
    Mungkin saja lho fotonya itu dimanipulasi dengan potosop, [harus dilihat metadata-nya ini [tm] đŸ™‚

    Manusia memang syusyah untuk dianalisis; dua lusinan bias yg lain bisa dilihat di siniđŸ™‚


  10. […] Sepakat untuk tidak sepakat […]

  11. twejo Says:

    Tanya pak..(sambil angkat tangan)
    Kalau misalnya ada dua fakta yang berlainan seperti kejadian yang bapak alami saat mendengar sirine, maka persepsi mana yang mungkin akan kita gunakan dalam melakukan respon?
    Atau..
    Kalau bapak mendengar sirine lagi dijalan maka respon yang mana yang akan muncul?
    Terima kasih pak..=]

  12. b oe d Says:

    #Twejo
    Di kejadian itu, tidak ada fakta yg bertentangan. Yg bertentangan adalah persepsi orang yg mengolah fakta itu. Bahkan satu orang yg sama, dalam waktu yg berbeda bisa mempersepsikan fakta yg sama dengan cara yg berbeda.

    Dengan asumsi bahwa saya sudah belajar dari pengalaman sebelumnya, maka kalau saya mendengar sirine serupa lagi saya akan berpikiran netral saja, gak suuzan [buruk sangka].
    đŸ™‚

  13. dhee Says:

    ***
    nggak perlu lah demonstratif mondar-mandir bawa bendera partai segede gaban
    ***
    waaaaa…nonton gaban juga, Pak..
    kekekekekek

  14. dhee Says:

    ****
    Karena kita menyadari bahwa untuk fakta yg sama pun, orang bisa menginterpretasikannya berbeda-beda.
    ****

    saya dulu pernah baca satu quote:
    sapi dan ular sama2 minum air tapi sapi menghasilkan susu, ular menghasilkan bisa, yang satu bermanfaat, yang satu jadi racun..

    jadi…sepakat lah saya sama bapak…

  15. dhee Says:

    dilihat dari bentuk, maaf, paha nya saya punya persepsi yang bercelana sport hitam itu perempuan..
    dikarenakan kalau bukan muhrim ga boleh pegangan tangan, jadi berhusnudzon saja kalau itu suami yang menjemput istrinya habis senam..
    hihihihihihi


  16. masalah persepsi emang bakalan berbeda untuk setiap orang. Pengaruh pengalaman yg unik merupakan salah satu faktor yg membuat persepsi tiap orang berbeda. bener ga ya???? lieur


  17. saya sudah ukur gajahnya pak. kesimpulannya, saya tidak sepakat dengan bapak. karna menurut saya, ukuran yang dapat dipastikan sama dari ketiga gajah itu adalah ukuran jalanannya para gajah đŸ™‚

    salam gajah pak đŸ˜‰

  18. Wagun Says:

    Maaf Pak Boed, tentang teka-teki gajah itu, kalau fakta ukurannya memang sama, mohon bapak jelaskan, rasionalisasi dari realita yang skala gambarnya berbeda menjadi sama itu bagaimana. Kalau tidak bapak jelaskan, itu bikin kebingungan saya sebesar gajah, bahkan lebih. Yang paling dikhawatirkan, ada ‘kegajahan’ kekeliruan dalam mengelola fakta (kalau gambar itu dianggap fakta).

    • b oe d Says:

      rasionalisasi dari realita yang skala gambarnya berbeda menjadi sama itu bagaimana

      Sila gunakan penggaris, cek masing-masing tinggi gajah. Samakah atau beda ? đŸ˜€

  19. Kang Santri Says:

    Bagus mas Bud, selamat berkarya, salam kenal dari saya Supriyanto, salam juga buat teman – teman di UQ – BNE..!


Leave a reply to b oe d Cancel reply