Winners never quit? – umm sometimes they do

January 22, 09

378157079_8c80f14ca5_mTergelitik dengan ‘quote’ yg dikutip di status FB dari salah satu rekan [halo mb Titin :)], dan kebetulan beberapa waktu sebelumnya membaca artikel serupa, jadi pengin dikit nulis di sini tentang ‘quit’ & ‘quiters’. Oiya kebetulan lagi, bahasan ini terkait dengan thesis saya.

Yach pak Boed, bakalan berat nih bahasannya. Males males.

O ya jelas – tidak. Kita tetep membahas yang ringan-ringan saja. Seperti biasa kita bisa sepakat untuk tidak sepakat.

Winners never quit, apa ya artinya ya?

O saya tahu pak. Artinya adalah seorang pemenang / orang yang sukses tidak pernah menyerah. Tidak pernah menghentikan usahanya sampai tujuannya tercapai. Gitu kan?

Iya tepat. Konon jargon ini awalnya dipopulerkan di dunia olahraga oleh Vince Lombardi: quitters never win. Kalo ingin jadi pemenang (ogah jadi losers ato mediocre people) kita tidak boleh quit – n.e.v.e.r.

Kalo saya sih kayaknya cocok dengan jargon ini pak. Secara kita kan harus pantang menyerah untuk mencapai cita-citanya. Semangat gitu, nggak loyo nggak manja. Iya kan Pak?

Well, to some extent saya sepakat. Kalo konteksnya adalah retorika – buat memotivasi massa, ato tim olahraga, ato sejenisnya sepertinya masih baik-baik saja. Tapi kalo kemudian dijadikan prinsip untuk memutuskan segala kasus, segala konteks kok ya kurang pas – menurut saya.

Why pak, why?

Permasalahannya adalah di kata never – nya. Never itu kan berarti 0%. Seperti halnya always berarti 100%. Kita mesti hati-hati menggunakan dua kata itu.

Harusnya sih, it all depends – kita melihat masalah secara contingent. Semua tergantung konteksnya. Ada fleksibilitas [menurut mb Titin]. Saya sih lebih cocok dengan jargon ‘winners know when to hold and when to fold‘.

Quiting tidak selalu berkonotasi negatif. Dalam banyak kasus, quiting adalah strategi terbaik. Saat proyek Pusat Informasi Majapahit (PIM) disinyalir merusak situs arkeologi Trowulan, it’s time to abandon the original plan – and find more feasible goals. Jangan hanya karena proyeknya diresmikan SBY , lalu proyek harus ‘diamankan’ (i.e. we won’t quit).

Pak Boed, proyek-proyek yang diresmikan SBY kok selalu bermasalah ya? Ada pupuk ajaib, blue energy, PIM …

Hehe, ya gitu deh. Tapi kan tidak selalu [100%]. Kan udah dibilang hati-hati pake kata ‘selalu’.

Michael Dell, co-CEO dari Dell inc. – menurut saya- adalah contoh pebisnis sukses ato winner dalam konteks hold-or-fold. Dia bisa membawa perusahaannya yang menggunakan falsafah ‘quick follower mass production’ menjadi salah satu perusahaan teknologi terkemuka. Secara financial, nilai perusahaannya sangat bagus, brand-nya lumayan kuat, dan ditakuti pesaing terutama di pangsa low-end market.

Dalam hal ‘not quiting’, falsafah Dell bisa direfleksikan dengan jargon perusahaan mereka ini: “celebrate for a nanosecond, then move on”. Mereka tidak pernah terlena dengan kesuksesan, terus maju dan maju untuk mendorong efisiensi perusahaan. No quit.

Di sisi lain, Dell ternyata adalah quiter. Di sebuah artikel Business Week magazine (di sini), diceritakan begini:

in 2001, he [Dell] scrapped a plan to enter the mobile-phone market six months after hiring a top exec from Motorola Inc. to head it up. He decided the prospects weren’t bright enough to offset the costs of entry. The next year, Dell wrote off its only major acquisition, a storage-technology company bought in 1999 for $340 million. Dell backed out of the high-end storage business because it decided its technology wasn’t ready for market.

Dan ternyata Dell bisa menjadi seorang quiter – pada saat yg tepat, karena

A student of business history, he has paid close attention to how some of tech’s legendary figures lost their way by refusing to admit mistakes. He cites Digital Equipment Corp.’s Ken Olsen as one who stuck with his strategy until the market passed him by …

Wah, sekarang cukup jelas ya pak Boed, ternyata strategi hold atau fold harus diterapkan pada saat yang tepat. Semua tergantung.

Iya kira-kira begitulah. Seperti yg dilakukan Dell, dia tahu kapan harus keukeuh dengan rencana awalnya dan kapan harus quit 🙂

Buat anda yg tertarik untuk mempelajari lebih dalam, beberapa kata kunci berikut bisa digunakan. Di dunia teori ekonomi, bahasan kita ini terkait sangat erat dengan konsep sunk cost. Di dunia teori manajemen dan bisnis, digunakan istilah escalating commitment. Di dunia cognitive psychology dikenal dengan istilah status quo bias. Ketiganya adalah konsep yg bisa diaplikasikan untuk membantu melihat kapan kita mesti hold atau fold. Kapan-kapan dibahas lebih detail.

Akhirnya tulisan ditutup dengan kuis kecil. Ayo sila dicoba dan jawabannya ditaruh di bagian komentar 🙂

Hore, kuis lagi. Untung saya hadir. Saya sms temen2 yang lain dulu pak.

Halah kayak di kelas aja. Ini kuis santai kok.

Ceritanya anda diminta melakukan bid. Tahu dong, seperti pas kita ngebid di e-bay gitu. Cuman aturannya agak beda dikit, jadi harus dibaca baik-baik. Begini aturannya:

1. Saya punya satu uang kertas Rp 100 ribu. Uangnya biasa, tidak ada unsur sejarah, klenik, nostalgia dll yg membuat nilainya lebih dari Rp 100 ribu.

Anda dan satu orang yang lain akan saya minta melakukan penawaran untuk mendapatkan uang Rp 100 ribu itu.

2. Lelang dilakukan sampai salah satu bidder menyerah, atau tidak mau lagi menaikkan tawarannya. Tawaran dinaikkan dengan minimal kelipatan Rp 25 ribu.

3. Yang akan mendapatkan uang saya (Rp 100 ribu) adalah bidder yg memberikan penawaran paling tinggi. Misal: jika anda menawar (untuk membayar saya)) Rp 50 ribu untuk uang itu, sementara lawan hanya berani menawar maksimal Rp 45 ribu berarti anda pemenangnya. Anda kasi saya Rp 50 ribu, saya kasi anda uang Rp 100 ribu yg diperebutkan, lawan anda yg kalah harus bayar saya Rp 45 ribu.

4. Bidder yang kalah, harus menyerahkan uang sejumlah penawaran terakhirnya kepada saya.

Pertanyaannya:

Bagaimana strategi bidding yang akan anda pakai?

Contoh: akan memulai dengan Rp ##; menaikkan sejumlah %%; nyerah kalau tidak menang pada Rp bla bla. Atau strategi lain yg lebih brilian.

Ayo ayo!

ilustrasi

10 Responses to “Winners never quit? – umm sometimes they do”

  1. ti2n Says:

    horeeee…!
    akhirnya ditulis di blog juga!
    hehehehe…

    btw, blognya asik, bahasanya gampang diikuti, terutama untuk saya yang suka mikir tapi ngga mau terlalu mikirin yang berat-berat 😀

  2. Yayan Says:

    4. Bidder yang kalah, harus menyerahkan uang sejumlah penawaran terakhirnya kepada saya.

    lha kok aturannya aneh bengini…
    perasaan kalo kalah ngebid ga gini deh…
    hmmm kalau pengalaman saya ngebid di yahoo auction sih biasanya, nunggu mendekati penutupan, kalau penawaran tertinggi masih realistis (dibawah harga normal) dan belum dibawah batasan maximal bisa ngebid (maklum, account yahoo-nya bukan yang premium, jadi hanya bisa limit to 5000 yen) jadi ya… langsung ngebid dan maximumnya adalah 5000 yen. hmmm kira-kira begitu

  3. b oe d Says:

    # Titin
    Hore juga!

    saya yang suka mikir tapi ngga mau terlalu mikirin yang berat-berat

    hmm – what a complicated person you are 🙂
    [emang ada ya orang yg nggak complicated ]

    # Yayan
    Ya gitu deh mas. Kalo aturan biddingnya biasa-biasa aja, gak menantang mas.

    Ayo – sila coba sila coba

  4. Balza Achmad Says:

    Saya berdiskusi dengan bidder yang satunya itu dan bersepakat untuk membagi 2 hasil bidding siapapun yang memperolehnya. Maka saya memulai bid dengan Rp 1000 lalu bidder satunya langsung menyerah. Maka kami berdua masing2 mendapat Rp 49.500.

  5. Balza Achmad Says:

    Saya menjawabnya dari rule yang ada pak, tidak ada rule yang melarang berkolusi di situ :p
    Ini karena sy teringat waktu pelatihan di kaliurang waktu permainan tembak kapal perang musuh :p


  6. saya ga ngerti sie teorinya. tapi mw ikutan :mrgreen:

    kalo saya bid di awal senilai 25ribu gimana?
    oia, uangnya transfer ke rekening pribadi saya aja yah. he2

  7. Chandra D '02 Says:

    kalau pas jaman kuliah dulu jawaban Pak Boed jangan ikut ngebid hehe…


Leave a reply to Balza Achmad Cancel reply